Surat Telegram TNI Soal Prajurit Jaga Kejaksaan Dinilai Langgar Konstitusi

SETARA Institute menilai Surat Telegram (ST) TR/422/2025 bertentangan dengan Konstitusi Negara dan peraturan perundang-undangan di bawahnya
Dokumentasi - Panglima TNI Jenderal TNI Agus Subiyanto (tengah). (ANTARA/HO-Pusat Penerangan TNI)
Dokumentasi - Panglima TNI Jenderal TNI Agus Subiyanto (tengah). (ANTARA/HO-Pusat Penerangan TNI)

Bisnis.com, JAKARTA - Panglima TNI mengeluarkan Surat Telegram (ST) Bernomor TR/422/2025 mengenai perintah penyiapan dan pengerahan personel beserta alat kelengkapan dalam rangka dukungan pengamanan Kejaksaan Tinggi dan Kejaksaan Negeri di seluruh wilayah Indonesia.

ST Panglima TNI langsung ditindaklanjuti oleh Kepala Staf Angkatan Darat (KASAD) dengan mengeluarkan ST Berderajat Kilat dengan Nomor ST/1192/2025. KASAD memerintahkan jajarannya agar menyiapkan dan mengerahkan personel beserta alat kelengkapan dari Satuan Tempur dan Satuan Bantuan Tempur, sebanyak 30 personel untuk pengamanan Kajati dan 10 Personel untuk pengamanan Kajari.

Merespons hal itu, Ketua Dewan Nasional SETARA Institute, Hendardi menilai ST Panglima dan KASAD tersebut bertentangan dengan Konstitusi Negara dan peraturan perundang-undangan di bawahnya, terutama UU Kekuasaan Kehakiman, UU Kejaksaan, UU Pertahanan Negara dan UU TNI. Menurutnya, Panglima TNI dan KASAD hendaknya segera menarik dan membatalkan ST tersebut.

"Di satu sisi, tidak ada kondisi objektif yang mengindikasikan bahwa pengamanan institusi sipil penegak hukum, Kejaksaan RI, memerlukan dukungan pengerahan personel dari Satuan Tempur dan Satuan Bantuan Tempur TNI. Di sisi lain, permintaan dan pemberian dukungan pengamanan dari Kejaksaan justru bentuk dari kegenitan Kejaksaan sebagai institusi sipil dalam penegakan hukum," ujarnya dalam siaran pers, Senin (12/5/2025).

Dia menambahkan, dukungan pengamanan Kejaksaaan oleh TNI malah memunculkan pertanyaan tentang motif politik Kejaksaan melalui pelembagaan kolaborasi dengan TNI yang semakin terbuka, termasuk melalui Nota Kesepahaman (MoU) Kejaksaan-TNI tentang Kerjasama dalam Pemanfaatan Sumber Daya dan Peningkatan Profesionalisme di Bidang Penegakan Hukum, terutama terkait dengan RUU Kejaksaan dan RUU KUHAP yang sedang berlangsung serta penegakan hukum di lingkungan Kejaksaan.

"Kejaksaan harusnya memahami bahwa mereka merupakan bagian dari sistem hukum pidana (criminal justice system) yang mestinya sepenuhnya institusi sipil. Menarik-narik Militer ke dalam keseluruhan elemen sistem hukum pidana jelas-jelas bertentangan dengan supremasi sipil dan supremasi hukum," tandasnya.

Hendardi juga menyampaikan bahwa terbitnya ST tentang dukungan pengamanan kepada seluruh institusi kejaksaan di wilayah Indonesia semakin menegaskan bahwa militerisme mengalami penguatan dalam kelembagaan penegakan hukum, yang di antaranya didorong oleh kehendak politik Kejaksaan sendiri.

Respons Kejagung

Kejaksaan Agung (Kejagung) angkat bicara terkait bantuan pengamanan dari prajurit TNI ke seluruh kantor kejaksaan (kejati dan kejari) di Indonesia.

Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejagung Harli Siregar mengatakan bahwa bantuan pengamanan dari TNI tersebut sama sekali tidak berkaitan dengan penanganan kasus tertentu, terutama kasus korupsi proyek pengadaan satelit slot orbit 123 derajat bujur timur tahun 2012-2021 di Kemenhan.

"Jadi pengamanan dari TNI ini sema sekali tidak ada kaitannya dengan penanganan perkara," tuturnya di Jakarta, Senin (12/5).

Harli menegaskan bantuan pengamanan dari TNI ke seluruh kantor kejaksaan di Indonesia tersebut dilakukan sejak lama, persisnya sejak Jaksa Agung Muda bidang Militer (Jampidmil) berdiri.

"Bantuan pengamanan dari TNI itu sudah dibicarakan jauh sebelumnya sebagai bentuk kerjasama yg secara operasional dilakukan oleh jajaran Pidmil," katanya.

Sementara itu, Ketua Dewan Nasional Setara Institute Hendardi menuding bahwa dukungan pengamanan Kejaksaaan oleh TNI memunculkan pertanyaan tentang motif politik.

"Jadi apa yang sesungguhnya kini sedang dimainkan Kejaksaan melalui pelembagaan kolaborasi dengan TNI yang semakin terbuka?" ujarnya.

Hendardi mengatakan Kejaksaan harusnya memahami mereka merupakan bagian dari sistem hukum pidana criminal justice system yang mestinya sepenuhnya institusi sipil. 

"Menarik-narik Militer ke dalam keseluruhan elemen sistem hukum pidana jelas-jelas bertentangan dengan supremasi sipil dan supremasi hukum," tuturnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Bisnis Indonesia Premium.

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Bisnis Indonesia Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Bisnis Plus logo

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro