Bisnis.com, JAKARTA -- Pernyataan Menteri Kebudayaan Fadli Zon kembali menuai polemik. Dia ragu bahwa kasus kekerasan seksual terjadi pada kerusuhan tahun 1998. Pernyataan Fadli ini kemudian dikecam banyak pihak.
Menariknya setelah menuai polemik, Fadli meluruskan bahwa pernyataan itu lebih kepada sejarah perlu bersandar pada fakta-fakta hukum dan bukti yang telah diuji. Pasalnya, hal ini menyangkut kebenaran dan nama baik bangsa.
“Penting untuk senantiasa berpegang pada bukti yang teruji secara hukum dan akademik, sebagaimana lazim dalam praktik historiografi. Apalagi menyangkut angka dan istilah yang masih problematik," ujarnya dalam siaran pers, Senin (16/6/2025).
Dia mengklaim, istilah "massal" pada peristiwa kekerasan seksual itu masih menjadi perdebatan hingga saat ini. Pasalnya, data peristiwa itu tidak pernah mencapai final atau konklusif.
Di samping itu, Fadli Zon menyatakan bahwa sumber dari laporan investigatif hingga laporan dari laporan Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) terkait peristiwa kekerasan seksual ini belum bisa menjadi bukti yang kuat.
“Berbagai tindak kejahatan terjadi di tengah kerusuhan 13-14 Mei 1998, termasuk kekerasan seksual. Namun terkait ‘perkosaan massal’ perlu kehati- hatian karena data peristiwa itu tak pernah konklusif," tambahnya.
Baca Juga
Setara: Fadlizon Ngawur!
Sementara itu, Setara Institute menilai pernyataan Menteri Kebudayaan Fadli Zon cenderung manipulatif dan sarat sensasi terkait proyek penulisan ulang sejarah Indonesia.
Ketua Dewan Nasional Setara Institute, Hendardi mengatakan penilaian pihaknya itu bersumber dari pernyataan-pernyataan Fadli Zon sejauh ini.
"Narasi yang sejauh ini disampaikan oleh Fadli Zon sebagai Menteri Kebudayaan terkait dengan penulisan ulang sejarah Indonesia hampir semuanya cenderung manipulatif, sarat sensasi dan muslihat alias ngawur," ujarnya dalam keterangan tertulis, Senin (16/6/2025).
Dia menambahkan salah satu pernyataan Fadli Zon yang dinilai keliru adalah terkait tragedi pemerkosaan massal pada 1998. Menurutnya, Fadli Zon tidak mempunyai empati saat menyangkal peristiwa tersebut.
Terlebih, hal tersebut juga bertentangan dengan penyelidikan Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) besutan Presiden ke-3 RI BJ Habibie serta temuan dari Komnas HAM maupun perempuan.
"Fadli Zon harus menarik berbagai ucapannya yang menyangkal pemerkosaan massal dan pelanggaran HAM masa lalu serta segera meminta maaf kepada publik, khususnya para korban dan keluarga mereka," tutur Hendardi.
Kritikan Bambang Pacul
Wakil Ketua MPR RI dari PDI Perjuangan (PDIP), Bambang Wuryanto alias Bambang Pacul menilai yang namanya penulisan sejarah ulang tak lepas dari subjektivitas, tidak mungkin bisa 100 persen objektif.
Pandangannya ini dia layangkan kala merespons pernyataan Menteri Kebudayaan (Menbud) Fadli Zon yang menyinggung soal belum ada cukup bukti kebenaran kasus pemerkosaan selama kerusuhan Mei 1998. Pacul meminta agar Fadli Zon melihat kembali pernyataan Presiden RI ke-3 BJ Habibie.
“Kalau terkait dengan, mohon maaf, tidak ada pemerkosaan, ya silakan dibaca [pernyataan] Pak Habibie. Waktu itu Presiden Habibie de jure presiden, statement-nya apa? Silakan dibaca, saya tidak mau kontradiksikan lah,” tegasnya di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta Pusat, Senin (16/6/2025).
Dia melanjutkan, silakan saja bila Fadli Zon mau memandang dengan cara yang berbeda karena subjektivitasnya. Karena nantinya juga dia yakin bisa ditabrakkan dengan ayat fakta. Bahkan, Pacul menyebut bisa saja PDIP akan menulis sejarah juga.
“Jadi kalau hanya ngotot-ngotot, ya kita bikin sejarah kita sendiri dengan fakta yang kita punya sendiri, kan begitu aja, just a simple as that. Wooo iya toh, simpel-simpel aja,” ujarnya.
Dengan demikian, politisi PDIP ini menyinggung agar Fadli Zon jangan merasa ‘sok’ benar karena pastinya subjektivitas akan memengaruhi dalam penulisan ulang sejarah.
“Itu subjektivitas akan memengaruhi, oke. Ini yang disadari, jangan kemudian sok bener-beneran nggak bisa, ya. Begitulah logika dunia wilayah timur, dunia wilayah timur ada rasa, jadi jangan sok bener sendiri,” pungkasnya