Banyak Korban Sipil Tewas di Kasus Ledakan Maut Garut, Siapa yang Salah?

Warga sipil menjadi korban paling banyak dalam peristiwa ledakan maut amunisi kedaluwarsa TNI di Garut.
Annisa Nurul Amara, Hakim Baihaqi
Rabu, 14 Mei 2025 | 05:55
Petugas kepolisian mengecek kantong jenazah belasan korban tewas diduga akibat ledakan amunisi yang sudah kedaluwarsa milik TNI di Garut pada Senin pagi (12/5/2025). Dok Istimewa
Petugas kepolisian mengecek kantong jenazah belasan korban tewas diduga akibat ledakan amunisi yang sudah kedaluwarsa milik TNI di Garut pada Senin pagi (12/5/2025). Dok Istimewa

Bisnis.com, JAKARTA — Ledakan amunisi kedaluwarsa telah merenggut nyawa 13 orang di Garut, Jawa Barat. Korban paling banyak adalah warga sipil sebanyak 9 orang. Sedangkan 4 lainnya adalah prajurit TNI.

Informasi yang beredar warga menjadi korban karena berebut material bekas ledakan milik TNI AD. Namun demikian, kesaksian warga justru menunjukkan fakta sebaliknya, para korban sipil dipekerjakan untuk membongkar selongsong amunisi usang dengan upah harian mulai dari Rp150.000.

Agus Setiawan misalnya, sudah lama bekerja sebagai buruh pembongkar amunisi di lokasi tersebut. Dia membantah rumor yang menyebut para korban sebagai pemulung selongsong amunisi.

“Kami itu kerja, bukan nyari rongsokan. Kerjaan kami buka selongsong,” ujar Agus, yang juga merupakan kakak kandung Rustiawan, salah satu korban meninggal dunia dalam ledakan tersebut.

Pekerjaan membongkar amunisi, menurut Agus, sudah berlangsung lama dan dilakukan secara musiman. Warga desa akan dipanggil bekerja setiap kali datang kiriman amunisi tak terpakai. 

Pekerjaan tersebut melibatkan pembongkaran manual terhadap selongsong peluru sebelum bahan peledak dimusnahkan. Sistem kerja tanpa kontrak dan tanpa pelindung keselamatan.

“Kalau ada barang datang, kerja bareng. Satu putaran biasanya 12 hari selesai. Setelah itu nunggu kiriman berikutnya,” jelas Agus.

Setiap hari bekerja, Agus mengaku dibayar Rp150.000. Sementara itu, pekerja senior atau koordinator mendapat bayaran lebih tinggi, hingga Rp200.000. Meski terlihat sebagai pekerjaan kasar biasa, risiko pekerjaan ini sejatinya sangat tinggi. 

Namun warga tak punya pilihan lain karena sulitnya lapangan pekerjaan di daerah tersebut.

TNI Masih Lakukan Investigasi

Sementara itu, proses investigasi peristiwa ledakan amunisi yang terjadi di kawasan pantai Desa Sagara, Kecamatan Cibalong, Kabupaten Garut, hingga kemarin belum rampung. 

Panglima Kodam III/Siliwangi Mayjen TNI Dadang Arif Abdurahman menegaskan tiim investigasi dari unsur TNI masih bekerja menyelidiki penyebab ledakan yang menewaskan belasan orang tersebut.

"Masih dalam proses. Tim kami di lapangan masih bekerja menyusun hasil dan mengumpulkan data," ujar Dadang saat meninjau keluarga korban di RSUD Pameungpeuk, Selasa (13/5/2025).

Pangdam menyampaikan hasil investigasi akan menjadi dasar untuk menentukan langkah-langkah lanjutan, termasuk apakah lokasi tersebut masih layak digunakan kembali sebagai tempat pemusnahan bahan peledak militer.

Dadang tidak menjelaskan secara rinci sejauh mana progres penyelidikan. Namun ia memastikan proses investigasi dilakukan menyeluruh dengan melibatkan satuan teknis terkait. Selain mendalami aspek teknis ledakan, tim juga mengevaluasi sistem keamanan yang diterapkan saat proses pemusnahan berlangsung.

"Tempatnya sudah disterilkan. Tapi soal kelayakan, itu masih harus menunggu hasil akhir tim,” tambahnya.

Evaluasi Total Prosedur Pengamanan

Di sisi lain, anggota Komisi I DPR RI dari Fraksi PDI Perjuangan (PDIP), TB Hasanuddin meminta TNI lakukan evaluasi total prosedur pengamanan terkait pemusnahan amunisi.

Dia menegaskan, insiden ini harus menjadi pembelajaran serius bagi semua pihak, meskipun di satu sisi secara teknis prosedur yang diterapkan sudah sesuai standar operasional.

“Ke depannya, pembatasan wilayah harus dilakukan dengan pengawasan yang lebih ketat untuk mencegah warga sipil berada di area berbahaya,” ungkapnya dalam keterangan tertulis, dikutip Selasa (13/5/2025).

Lebih lanjut, purnawirawan TNI ini menjelaskan amunisi yang diledakkan dalam insiden ini merupakan amunisi kedaluwarsa yang secara teknis sudah tidak stabil. 

Menurutnya, peledakan pertama sebenarnya telah dirancang untuk menghancurkan seluruh amunisi dan petugas meyakini proses itu telah tuntas. 

Namun, lanjutnya, amunisi kadaluarsa bersifat tidak bisa diprediksi menciptakan ledakan susulan. Maka dari itu TB Hasanuddin menduga ada kesalahan prediksi dari petugas.

“Ini akibat dari kesalahan prediksi petugas. Dikiranya satu ledakan cukup, ternyata ada amunisi yang meledak belakangan dan menimbulkan korban,” jelasnya.

Sebab itu, legislator PDIP ini menekankan insiden tersebut harus dijadikan pelajaran untuk menyempurnakan prosesur pemusnahan amunisi tak layak pakai, supaya kejadian serupa tidak terulang lagi.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Bisnis Indonesia Premium.

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Bisnis Indonesia Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Bisnis Plus logo

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro